Hutan dan lahan adalah sumber daya alam yang tidak tak terbatas. Menggunakan energi nabati secara efisien bisa mencegah eksploitasi kedua sumber daya alam yang berharga ini. Analisis terbaru European Environment Agency (EEA) yang dirilis Rabu (3/7) mengungkap strateginya.

Energi nabati merujuk pada energi yang menggunakan semua jenis biomasa (dari hewan maupun tanaman) untuk menghasilkan listrik, pemanas maupun sebagai bahan bakar transportasi. Memroduksi energi nabati secara efisien berarti mengurangi kebutuhan atas lahan dan sumber daya alam guna memroduksi setiap unit energi guna menghindari dampak negatif terhadap lingkungan.

Pada 2010, energi nabati menyumbang sekitar 7,5 % energi yang dipakai di Uni Eropa. Bauran energi nabati ini diperkirakan akan meningkat menjadi 10% atau separuh kapasitas produksi energi terbarukan Uni Eropa pada 2020. Laporan berjudul “EU bioenergy from a resource efficiency perspective” melihat potensi efisiensi energi nabati di lahan pertanian, dari sampah dan hutan. Menurut EEA, banyak peluang untuk memroduksi dan menggunakan energi nabati secara lebih efisien.

Analisis EEA mengungkapkan, tingkat efisiensi biomasa murni untuk memroduksi energi listrik hanya 30-35%, sementara jika dipakai untuk memroduksi panas, tingkat efisiensinya akan melonjak menjadi 85%. Penggunaan biomasa sebagai bahan bakar nabati generasi pertama untuk transportasi – seperti etanol yang diproduksi dari gandum – juga terbukti kurang efisien. Harapan baru ada di bahan bakar nabati yang lebih canggih (advanced biofuels) yang dikenal sebagai bahan bakar nabati generasi kedua.

Netral karbon

Energi nabati masuk dalam kategori energi yang “netral karbon” karena emisi CO2 yang dikeluarkan dari pembakaran biomasa diserap kembali oleh tanaman saat tanaman bertumbuh. Namun laporan ini menggarisbawahi, alih guna lahan bisa merusak manfaat pengurangan emisi gas rumah kaca dari penggunaan energi nabati.

Penggunaan pohon-pohon usia dewasa untuk menghasilkan energi akan berdampak negatif terhadap iklim, karena pohon memerlukan waktu yang panjang untuk tumbuh dan menangkap kembali emisi CO2 yang terlepas saat pohon dibakar untuk menghasilkan energi. Hutan dan sabana terus berubah fungsi menjadi lokasi produksi pertanian dan bahan bakar nabati. Alih guna lahan inilah yang kemudian merusak keanekaragaman hayati.

“Hutang karbon” atau “carbon debt” ini bisa dihindari jika kita menggunakan biomasa hutan alternatif seperti ranting-ranting sisa penebangan kayu atau limbah dari industri kayu dan kertas. Penggunaan tanaman musiman jangka pendek seperti rumput atau tanaman lain yang tidak mengganggu layanan ekosistem – seperti penahan banjir dan penyaringan air bersih oleh tanaman – juga bisa menjadi solusi.

Potensi pengurangan emisi gas rumah kaca lain adalah dengan menggunakan limbah organik, residu pertanian dan hutan sebagai bahan makanan ternak. Praktik ini lebih menghemat sumber daya dibanding cara-cara yang lain.

Solusi terakhir, penggunaan teknologi pemanenan yang lebih canggih yang bisa meningkatkan produktivitas dan menghasilkan energi nabati 20 kali lipat lebih banyak dibanding sistem pemanenan konvensional yang tidak efisien. Dampak negatif terhadap lingkungan seperti kelangkaan air dan kerusakan keanekaragaman hayati bisa dihindari.

Negara Eropa yang memiliki potensi energi nabati terbesar pada 2020 adalah Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Polandia dan Romania. Laporan lengkap EEA bisa diunduh secara gratis dalam tautan berikut ini: Efisiensi Energi Nabati.

Redaksi Hijauku.com