Sumber utama infrastruktur energi kita adalah karbon. Karbon, dalam bentuk minyak, batu bara dan gas alam, kini digunakan untuk menggerakkan mobil, mendinginkan ruangan, juga untuk memasak.

Menurut Robert Coolman, peneliti Universitas Massachusetts di Amherst dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Livescience, jika kita bisa memanfaatkan infrastruktur berbasis karbon secara maksimal, efek kejut transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan bisa dikurangi. Dan tanaman adalah satu-satunya sumber karbon yang terbarukan.

Konsepnya sangat sederhana: Tanaman menangkap karbon dari udara dan tanaman kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar.

Kesederhanaan ini yang menjadi alasan biofuel berbasis tanaman bisa menjadi salah satu sumber energi terbarukan penting pada masa datang karena semua kehidupan di dunia ini berbasis karbon.

Untuk mengubah karbon pada tanaman menjadi bahan bakar, pertama kita harus memahami komposisi tanaman.

Sebelumnya, bayangkan bagaimana tubuh Anda menyimpan energi. Energi dalam tubuh manusia disimpan dalam bentuk lemak yang terdiri dari berbagai jenis molekul yang disebut protein; tanaman sebagai sumber energi memiliki konsep yang sama.

Tanaman menyimpan energi dalam bentuk zat tepung, gula dan lemak, yang tersusun menjadi lignin dan selulosa (atau “lignocellulose”). Contoh, jagung. Dari biji jagung kita bisa menghasilkan zat tepung dan gula yang bisa difermentasi menjadi ethanol. Minyak dari jagung ini kemudian bisa kita ubah menjadi biodiesel.

Selain biji jagung, masih ada tongkol, kulit dan batang jagung yang juga tersusun atas lignin dan selulosa. Kayu dan rumput juga memiliki struktur yang sama.

Unsur-unsur lignin dan selulosa pada tanaman adalah sumber biomassa yang melimpah dan murah — bahan tersebut juga tidak dikonsumsi oleh manusia dan hewan sehingga tidak akan secara langsung mengganggu produksi makanan.

University of Massachusetts di Amherst saat ini sedang melakukan penelitian untuk mengubah serbuk kayu dan rumput menjadi “bahan bakar hijau”. Penelitian yang dipimpin oleh George Huber ini sebagai bagian dari upaya mengembangkan bahan bakar dengan infrastruktur yang ada saat ini.

Dalam beberapa tahun ke depan bahan bakar ini diramalkan akan sudah menjadi bagian bagi bahan bakar yang Anda beli di pompa bensin.

“Kecuali jika ditandai, Anda tidak akan tahu bila bahan bakar yang Anda pakai adalah bahan bakar ‘hijau’,” ujar Huber. “BBM ini memiliki jejak karbon nihil karena karbon dioksida yang dihasilkan oleh mobil Anda akan didaur ulang oleh tanaman saat mereka tumbuh.”

Bahan bakar hijau ini diciptakan dengan teknik pencairan bernama teknik “catalytic fast pyrolysis”. Dengan teknik ini, sebanyak 25% karbon dalam bahan baku utama yaitu “lignocelluose” akan hilang di udara dalam bentuk karbon monoksida dan karbon dioksida.

Hal ini karena “lignocelluose” mengandung lebih banyak oksigen daripada bensin. Sementara 75% bahan sisanya secara teori siap  dipakai untuk memroduksi bahan bakar minyak.

Dibutuhkan 20 kg (45 pounds) bubuk kayu guna memroduksi 3,78 liter (1 galon) bensin, karena hanya 30% bubuk kayu yang diproses dalam teknik ini yang berubah menjadi bahan bakar.

Namun, fasilitas ini tidak membutuhkan bahan baku lain selain bubuk kayu dan udara sehingga teknik ini sangat ideal bagi pabrik yang lokasinya terisolir namun memiliki pasokan bahan baku yang melimpah.

Percobaan dalam skala besar telah berlangsung sukses dan akan segera diikuti dengan pembangunan pabrik kimia baru. “Sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukannya. Harga minyak yang terus naik memberi kesempatan bagi pengadopsian teknik-teknik baru,” ujar Huber.

Redaksi Hijauku.com