Oleh: Jalal *

Film Avengers: Endgame betul-betul menjadi fenomena global. Bukan saja kesepakatan soal kualitasnya yang sangat tinggi—skornya 96% di Rotten Tomatoes ketika tulisan ini dibuat—melainkan juga pemecahan banyak rekor dalam dunia perfilman.

Ada berapa jumlah film yang telah menghasilkan pendapatan USD1 miliar sepanjang sejarah? Cuma ada 39 film, menurut perhitungan IMDB. Berapa yang mendapatkan lebih dari USD1,2 miliar? Ada 17.

Itu sebelum Avengers: Endgame mulai diputar.  Kalau film-film besar itu butuh berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk tembus batas USD1 miliar, film laga pahlawan super Marvel itu cuma butuh 5 hari saja.  Dan, langsung nangkring jadi film nomor 18 paling laris sepanjang sejarah di akhir minggu.  Kecepatannya untuk menggapai peringkat yang lebih tinggi lagi tak usah diragukan.  Masih banyak orang yang antre menonton, dan menonton lagi.

Alkisah, Thanos yang pada akhir Avengers: Infinity War menjentikkan jarinya yang penuh akik itu untuk menghilangkan separuh warga jagat raya (bukan cuma Bumi kan?) kini harus berhadap-hadapan dengan seluruh pahlawan super yang tersisa. Mereka beradu cerdik dalam skenario yang telah dilihat Doctor Strange kemungkinan menangnya para pahlawan itu cuma 1 dari 14 juta.

Hasilnya, tentu bisa ditebak.  Tentu Thanos tidak tobat lalu berbaikan dan ngopi-ngopi cantik dengan Captain America dan kawan-kawannya. Dia mati. Tapi keberhasilan itu bukannya tanpa ada harga yang harus dibayar.  Namun, agar tak jadi spoiler yang menyebalkan, saya tak akan memberi tahu soal harga itu. Di Taiwan diberitakan sudah ada penonton yang meneriakkan spoiler ke orang-orang yang sedang mengantre karcis.  Sontak saja antrean bubar, dan bogem dihunjamkan ke wajah dan tubuh si penonton kurang ajar itu.

Tentu, rekor pendapatan itu pecah lantaran strategi pemasaran yang jenius. Mungkin strategi itu tercipta setelah tim pemasaran Disney berunding dengan Tony Stark, Stephen Strange, Bruce Banner dan Shuri, para jenius di Marvel Cinematic Universe (MCU), sekaligus. Film itu diputar serentak di seluruh dunia. Pasar Tiongkok yang biasanya tertinggal setidaknya 2 minggu kini bisa menyaksikan berbarengan dengan seluruh penghuni Bumi.  Hasilnya, tentu saja luar biasa besar.  Dari pasar Tiongkok saja pemasukan untuk kocek Disney sudah melampaui USD330 juta dalam lima hari perdana.

Sebagai hasil sekaligus eksperimen pemasaran yang jenius, banyak bioskop memutar film itu tanpa henti, 24 jam. Karenanya, banyak penggemar yang rela bangun jam 3 pagi untuk mendapat giliran nonton jam 5, lalu pergi ke kantor seperti biasa. Mereka ke kantor dengan tangan terkepal, lengan menjauh dari badan seperti kalau sedang timbul bisul di ketiak, juga perut mengecil dan dada membusung sampai terbatuk lantaran lupa menahan nafas terlalu lama.  Tentu, peristiwa ini bakal jadi bahan cerita seru buat anak-cucu mereka.

Merenungi Sebuah Endgame yang Lain

Masih banyak yang bisa dan ingin saya komentari tentang film itu. Tapi kali ini saya mau bergeser ke betapa miripnya fenomena terkait film itu dengan yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan nyata. Sesuai yang tertabal pada judul tulisan ini, saya pikir perubahan iklim itu adalah fenomena endgame itu.

Masak sih? Mungkin begitu reaksi pertama yang muncul di benak.  Tapi coba renungkan baik-baik, apa yang bisa menghapus kehidupan sebegitu banyak makhluk kalau bukan perubahan iklim?  Lalu, siapa Thanos-nya? Manusia sendiri. Mereka yang tindakannya secara sadar atau tidak membuat Bumi semakin panas tanpa berupaya mengerem dan membalikkan keadaan itu  jelas punya peran seperti Thanos.

Kapan Thanos dunia nyata ini bakal menjetikkan jarinya? Tahun 2030. Kita tahu, dari laporan istimewa IPCC yang terbit awal Oktober 2018, kalau kita tak menurunkan emisi sekitar 45% dalam 12 tahun, bahaya jauh lebih besar dan tingkat kesulitan lebih tinggi untuk mengatasinya bakal kita hadapi. Ibaratnya, 12 tahun ke depan ini adalah waktu Thanos berkeliling jagat mencari bermacam batu Infinity. Dia dibantu para kacung macam Donald Trump untuk bisa dapat enam akik.  Empat yang paling kuat adalah Batubara, Minyak Bumi, Deforestasi, dan Metana.

Kalau batu-batu itu benar ada dalam kuasa Thanos, lalu para Avengers—alias manusia yang sadar dan berusaha membalikkan kecenderungan sekarang—gagal menemukan akik yang bisa memutar kembali waktu ke masa ketika emisi jauh lebih rendah, atau nyelonong ke masa depan yang ternyata rendah emisi, sebelum 2030, celakalah seisi dunia.

Kita lihat para Avengers dewasa sudah berjibaku habis-habisan. Al Gore, Nicholas Stern, Christiana Figueres itu mungkin bak Captain America, Iron Man, dan Black Widow.  Mereka jago, tapi sadar bahwa kekuatan mereka dan rekan-rekannya itu tak cukup.  Saya belum melihat siapa  yang sepadan dengan Spiderman, lelaki muda yang jadi tambahan darah penting bagi Avengers—sempat terpikir Gernot Wagner, tapi tampaknya akademisi brilian itu belum cukup banyak bergelayutan sambil menghantam musuh-musuh perubahan iklim.  Tapi, saya melihat Greta Thunberg adalah padanan yang setara untuk Captain Marvel.  Perempuan muda, fokus, dan perkasa itu telah menggairahkan lagi gerakan pengendalian perubahan iklim, terutama bagi kalangan muda, sambil memermalukan generasi yang lebih tua.

Kalau mereka gagal mencegah Thanos memiliki seluruh batu di tahun 2030—yang adalah skenario paling mungkin terjadi hingga sekarang—mereka perlu menemukan Doctor  Strange di dunia nyata, seorang yang weruh sakdurunge winarah, dan bisa berhitung cerdik dan presisi di mana kemungkinan dan bagaimana cara para Avengers menang setelah 2030.

Siapa yang Bakal Menang?

Di tahun itu, jentikan Thanos dunia nyata tidak akan langsung membunuh separuh penduduk Bumi. Tapi, peluruhan penduduk akan terjadi semakin cepat.  Dan, alih-alih hilang jadi debu, manusia bakal mengalami kehausan parah, kelaparan, tenggelam dalam banjir, mati teruruk tanah longsor, dan dibanting oleh badai. Perkiraannya, sekitar 2 miliar orang akan kena pengaruh buruk jentikan Thanos.  Jumlah korbannya banyak, dan dari tahun ke tahun bakal terus meningkat, hingga manusia benar-benar habis, kecuali bila para Avengers menemukan dan mewujudkan jalan keselamatan sebelum itu.

Kalau Avengers: Endgame memecahkan rekor penonton dan pendapatan, Climate Change: Endgame bisa memecahkan rekor korban plus hilangnya pendapatan yang sudah diraih umat manusia.  Entah berapa jumlah nyawa yang hilang dan sengsara gegara badai Harvey, Irma, dan Maria yang mendarat di wilayah AS di tahun 2017. Yang jelas, bersama dengan berlalunya ketiga badai itu, hilang juga USD265 miliar. Jumlah pendapatan yang dihasilkan Avengers dalam seluruh seri filmnya saja jelas tak mampu menandinginya.

Soal duit yang hilang ini memang mengerikan.  Menurut Burke, dkk yang menulis artikel Large Potential Reduction in Economic Damages under UN Mitigation Targets di jurnal Nature tanggal 23 Mei 2018, kalau para Avengers berhasil menekan pertambahan suhu dari 2 menjadi 1,5 derajat di akhir abad, penghematan yang bisa dibuat dunia adalah USD20 triliun.  Sementara, kalau kita tak berbuat apapun, salah satu hitungan menyatakan bahwa nilai ekonomi yang hilang bakal mencapai USD535 triliun hingga akhir abad.  Bandingkan dengan biaya untuk menurunkan emisi karbon ke ambang batas 350 ppm yang di tahun 2017 dihitung hanya USD8 – 18,5 triliun. Itu jauh lebih murah dibandingkan harga yang harus dibayar bila kita tak melakukan apa-apa, apalagi mengingat biaya penurunan itu sebetulnya dibagi ke dalam delapan dekade.   Cost of inaction memang luar biasa mahal.  Herannya, masih banyak manusia jenis Thanos, yang tega mengakibatkan kematian dan kesengsaraan manusia lain, dan tak peduli pada hilangnya nilai ekonomi yang luar biasa besar.

Kita tahu, siapa pemenang dalam Avengers: Endgame. Yang kita belum tahu adalah siapa yang bakal menang dalam Climate Change: Endgame. Saya tahu, ada cukup banyak Avengers di dunia nyata. Tapi saya sedang khawatir Thanos di dunia nyatalah yang bakal menang.  Tanda-tandanya seperti itu. Tapi saya benar-benar berharap sebaliknya.  Semoga kecerdikan dan keuletan Avengers dunia nyata bisa memenangkan pertarungan paling akbar abad ini.

–##–

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA. Ia juga adalah salah seorang deklarator Poros Hijau Indonesia.