Indonesia hari ini, 26 Maret 2019, secara resmi meluncurkan strategi pembangunan rendah karbon yang digawangi oleh Badan Perencanaan Pembangunan National (Bappenas). Peluncuran strategi ini ditandai dengan penerbitan laporan berjudul “Low Carbon Development – A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia” yang mendetilkan sebuah paradigma baru dalam pembangunan jangka panjang, berlandaskan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan kerusakan lingkungan, menuju terwujudnya perekonomian yang hijau dan pembangunan yang berkelanjutan.

Laporan ini dengan tegas menyebutkan, eksploitasi sumber daya alam, investasi beremisi tinggi, penggunaan energi dan sistem transportasi yang tidak efisien telah menyebabkan Indonesia mengalami kerusakan lingkungan yang memicu berbagai masalah kesehatan.

Kerusakan lingkungan tersebut diantaranya adalah polusi udara dan air di berbagai kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta dan Bandung; menyusutnya hutan Indonesia yang sangat berharga akibat praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan terutama di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan baru-baru ini terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat; urbanisasi yang tidak terkendali yang memicu kepadatan penduduk dan pemukiman kumuh di perkotaan; terus menurunnya sumber daya air, perikanan dan keanekaragaman hayati yang dianugerahkan kekayaannya kepada Indonesia; serta kontribusi semua kerusakan tersebut terhadap perubahan iklim global, termasuk memicu kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem dan berkurangnya produktivitas akibat temperatur yang ekstrem.

Jika Indonesia meneruskan pola pembangunan yang tidak berkelanjutan tersebut, Indonesia akan membatasi potensi pertumbuhan ekonominya sendiri, termasuk membatasi upaya untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mengentaskan kemiskinan.

Laporan ini menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa datang akan diwarnai dengan kemajuan teknologi dan inovasi canggih yang tidak terbayangkan dalam satu generasi yang lampau. Namun semua itu harus disertai dengan pemahaman atas semakin mahalnya kerugian praktik eksploitasi sumber daya alam termasuk semakin meningkatnya harapan sosial dan ekonomi oleh generasi muda.

Sehingga dengan pemahaman tersebut, Pemerintah Indonesia harus melakukan transformasi ekonomi dan mengukur kemajuan negara tidak hanya dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto namun juga dari semakin lestarinya lingkungan, semakin efisiennya penggunaan sumber daya alam dan terwujudnya kesetaraan sosial (social equity). Inilah yang akan menjadi kisah pertumbuhan ekonomi Indonesia pada abad ke-21.

Manfaat berlimpah

Laporan ini menggarisbawahi, melalui penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan pengurangan intensitas karbon dan energi, emisi total gas rumah kaca Indonesia akan turun hingga 43% pada 2030. Kinerja ini melampaui target bersyarat pencapaian pengurangan emisi karbon dalam rencana aksi perubahan iklim nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) yang mencapai 41%. Jika Indonesia menerapkan kebijakan yang jauh lebih ambisius antara tahun 2020-2045, Indonesia akan bisa mencapai penurunan emisi GRK dalam jangka panjang sebesar 75% pada tahun 2045.

Laporan ini menemukan bahwa strategi pembangunan rendah karbon akan mampu menghasilkan pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 6% per tahun hingga tahun 2045. Strategi ini juga akan memunculkan sejumlah manfaat baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan, termasuk mengurangi kemiskinan ekstrem, menciptakan lapangan kerja dengan gaji yang lebih baik dan mencegah kematian prematur akibat polusi udara.

Semua manfaat tersebut akan menjadikan Indonesia masuk dalam kelompok negara dengan pertumbuhan sumber daya manusia yang tinggi. Bahkan laporan ini meramalkan, dengan menerapkan strategi ini, pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan naik 42 kali lipat saat Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-100. Hal ini akan setara dengan pendapatan per kapita negara-negara makmur seperti Jerman, Denmark, dan Belanda saat ini. Ini yang menjadi visi Indonesia pada 2045. Laporan ini menyebutkan, dengan bantuan donor dan komunitas keuangan internasional, Indonesia akan bisa mencapai visi ini.

Langkah-langkah penting

Bagaimana Indonesia bisa mencapai target tersebut untuk meraih manfaat yang sudah disebutkan di atas? Laporan ini menyebutkan lima langkah utama yang harus dilakukan oleh Indonesia. Langkah pertama adalah meningkatkan target bauran energi terbarukan dan meninggalkan bahan bakar fosil terutama batu bara. Artinya, bauran energi terbarukan naik dari 8% di 2015, menjadi 23% pada 2030 dan terus naik menjadi 30% di 2045.

Langkah kedua adalah meningkatkan efisiensi energi yang – bersama dengan peralihan ke energi terbarukan – akan menurunkan 3,5% penggunaan energi total per penduduk pada 2030 dan 4,5% pada 2045, keduanya dibanding tahun 2018. Rasio intensitas energi terhadap emisi GRK total berbanding nilai tambah PDB akan turun sepertiganya pada 2030, dan 60% pada 2045 dibanding tahun 2018.

Langkah ketiga, penerapan moratorium di sektor kehutanan, kelapa sawit, pertambangan dan lahan gambut sehingga pada 2045, Indonesia masih akan memiliki 41,1 juta hektar hutan primer ditambah sekitar 15 juta hektar lahan gambut. Hutan primer di Papua dan Kalimantan beserta lahan gambutnya misalnya, adalah rumah bagi keanekaragaman hayati Indonesia dan membantu mengurangi emisi karbon penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Langkah keempat adalah berkomitmen dalam mencapai target sektor perairan, perikanan dan keanekaragaman hayati yang digariskan dalam Target Aichi (untuk mengurangi kerusakan keanekaragaman hayati dunia), Protokol Nagoya (untuk mengatur akses terhadap sumber daya genetik dan penggunaannya secara adil) serta Konvensi Keanekaragaman Biologi yang tercermin dalam Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2015–2020.

Langkah terakhir adalah meningkatkan produktivitas lahan sebesar 4% per tahun sehingga nilai tambah total dari setiap unit lahan akan meningkat 2,3 kali lipat antara tahun 2018 hingga 2045, pada saat yang sama, mengurangi intensitas penggunaan lahan per kapita sebesar 1,6% pada periode yang sama.

Berdasarkan skenario yang paling ambisius di atas, Indonesia memerlukan investasi sebesar $446,5 miliar (34,6% dari PDB) dalam periode 2020–2024. Dari total investasi tersebut, sebesar $21,9 miliar per tahun dipakai untuk modal pembangunan rendah karbon yang spesifik, yang telah diidentifikasi dalam laporan ini.

Pekerjaan rumah

Ari Mochammad, Penasihat di Proyek Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK), yang didanai oleh USAID, kepada Hijauku.com menyatakan, dari sisi isi, laporan ini relatif dapat menjadi acuan “kawan-kawan” di kementerian/lembaga dan para pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya dalam mengembangkan kebijakan, program, kegiatan dan mendesain proyek. “Tanpa membatasi kepada apa yang telah dirumuskan, pemerintah daerah, NGO dan dunia usaha harus ditantang untuk mengisi program, kegiatan dan proyek lainnya yang sesuai dengan kebutuhan wilayah atau masyarakat, dengan tetap menempatkan low carbon development (dan resiliensi) sebagai pilihan yang layak ditempatkan sebagai prioritas,” ujarnya.

Sementara dari aspek keberlanjutan, menurut Ari, komitmen ini (strategi pembangunan rendah karbon dan resiliensi) memerlukan 2 prasyarat utama. “Yaitu memastikan koordinasi antar kementerian/lembaga berjalan untuk mengoperasionalkan gagasan yang terintegrasi, sistematis dan menyeluruh – yang sayangnya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Kedua, perlunya ada koordinasi di internal kementerian/lembaga itu sendiri,” tuturnya.

Ari juga menyampaikan secara personal, mimpi besarnya ke depan: “Yaitu peran presiden sebagai nakhoda untuk memastikan kapal berjalan sesuai dengan peta jalan yang sudah dibuat ini,” tuturnya.

Hambatan koordinasi antar kementerian/lembaga menurut Ari selama ini selalu (diatasi dengan) kehadiran nota kesepahaman/MoU antar kementerian/lembaga sebagai instrumen/solusi. “Padahal, hal tersebut sepatutnya dapat diselesaikan pada rapat kabinet,” tambahnya lagi. Pendekatan ini menurut Ari sangat realistis untuk menjawab percepatan aksi dalam merespon ancaman, dampak dan risiko perubahan iklim. “Sebaliknya, kehadiran MoU antar kementerian/lembaga hanya menambah panjang rantai,” ujarnya.

Dicky Edwin Hindarto, Inisiator Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE) yang juga Penasihat di Proyek Joint Crediting Mechanism (JCM) menyatakan, laporan ini baru laporan searah yang perlu segera dikomunikasikan ke seluruh kementerian dan para pemangku kepentingan. “Kelihatan dalam laporan tersebut masalah pendanaan masih belum jelas, pemerintah berapa, swasta berapa, asing berapa. Atau gampangnya, bagaimana pembagian tugas dari implementasinya,” ujar Dicky.

Dicky juga berharap ada insentif untuk pihak atau lembaga yang melakukan implementasi strategi pembangunan rendah emisi ini. “Ini yang sulit di Indonesia,” tuturnya. Terkait peningkatan bauran di energi terbarukan, diperlukan pengarusutamaan (mainstreaming) secara legal. “Ini juga butuh perjuangan lagi. RUU (Rancangan Undang Undang) Energi Terbarukan misalnya, masih perlu banyak dorongan untuk bisa disahkan,” ujarnya.

Sonny Mumbunan, Ekonom Senior di World Resources Institute (WRI) yang turut menyusun laporan ini menyatakan, langkah selanjutnya yang akan dilakukan setelah peluncuran laporan ini adalah melakukan ujicoba di tingkat daerah. “Untuk integrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, kita mengembangkan model Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS) dalam laporan ini,” ujarnya.

Mantan Wakil Presiden Indonesia, Boediono dalam sambutannya menyatakan, untuk pertama kalinya, Indonesia mengadopsi jalur pembangunan baru yang secara sistematis mengarusutamakan pertumbuhan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan.

Transformasi ini menurut Boediono di satu sisi menarik namun juga menantang. “Keberhasilan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon ini sangat bergantung pada dukungan dan partisipasi penuh dari pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan yang lain termasuk sektor swasta di dalam dan di luar negeri,” tuturnya. Indonesia sudah memulai, tiada kata berhenti untuk mewujudkan negeri yang damai, makmur dan lestari. Selamat buat Indonesia, perjuangan masih panjang!

Redaksi Hijauku.com