Oleh: Rahmawati Retno Winarni & Jalal *

Ada banyak peristiwa terkait lingkungan hidup yang terjadi sepanjang 2017.  Namun di antara berbagai peristiwa, tampaknya salah satu yang paling membetot perhatian gerakan lingkungan adalah soal perselisihan antara PT Riau Andalan Pulp and Paper dengan Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menyusul kebakaran hutan dan lahan besar di tahun 2015, di penghujung 2016 Pemerintah RI mengeluarkan PP Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.   PP tersebut di antaranya memandatkan restorasi gambut, termasuk yang sudah dibebani konsesi untuk berbagai perusahaan, terutama perkebunan dan hutan tanaman industri.  Badan Restorasi Gambut menyatakan bahwa dari 2,4 juta hektare lahan gambut yang harus direstorasi, 1,4 juta hektare di antaranya memang berada di kawasan berkonsesi.

Hal itu tidaklah mudah untuk diselesaikan.  Idenya adalah lewat tukar menukar lahan atau pemberian lahan pengganti bagi konsesi yang terkena dampak PP tersebut.  Tetapi, pada awal November 2017 saja baru ada 12 revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dengan lahan pengganti yang sudah diselesaikan dan disahkan oleh KLHK.  Padahal, ada 85 perusahaan HTI yang harus mengajukan revisi.

Alih-alih membuat revisi RKU yang sesuai sepenuhnya dengan PP tersebut, RAPP memilih jalur yang lain yang membuatnya tidak popular, terutama di kalangan gerakan lingkungan.  RAPP maju ke PTUN Jakarta meminta pembatalan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dengan Nomor SK.5322/MenLHK-PHPL/UHP/HPL.1/10/2017 yang berisikan kesimpulan bahwa revisi RKU RAPP belum sepenuhnya memenuhi PP dan karenanya RKU-nya dibatalkan.  Tanggal 21 Desember 2017 PTUN menyatakan bahwa KLHK memenangkan perkara dan SK Menterinya dinyatakan tetap berlaku.

Ada banyak analisis hukum lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang kompeten untuk itu.  Tulisan ini tidak bermaksud untuk menambah perdebatan hukum tersebut, melainkan ingin melihatnya dari perspektif lain, yaitu keuangan berkelanjutan.  Dengan mengikuti logika bahwa RAPP adalah sebuah perusahaan yang memiliki kepentingan pencarian keuntungan melalui investasi dan pinjaman perbankan, maka penelusuran tentang struktur perusahaan dan sumber keuangan RAPP dan grup induknya akan bisa memberikan penjelasan tambahan mengenai perselisihan itu.

Struktur Perusahaan

Struktur kepemilikan APRIL, induk RAPP dan grup yang relevan.

Dari struktur kepemilikan APRIL, induk RAPP, dan grup yang relevan, jelas APRIL adalah perusahaan yang berbasis bukan di Indonesia.  Keluarga Sukanto Tanoto membagi kepemilikannya ke dalam dua struktur.  Pertama adalah Blu Diamond Inc yang tercatat sebagai perusahaan di Cayman Islands; kedua, RGE Inc yang berada di British Virgin Islands.

Di bawah Blu Diamond Inc terdapat tiga kelompok, yaitu Pinnacle Ltd, Asia Pacific Resources International Holdings Ltd, serta Peak Forest Ltd.  Ketiga kelompok itu tercatat sebagai perusahaan di Bermuda.  Pinnacle merupakan pemilik 97,42% saham Toba Pulp Lestari.  Asia Pacific Resources International Holdings Ltd merupakan induk dari 3 perusahaan lainnya, yaitu APRIL Fine Paper Holdings Ltd, yang merupakan perusahaan di Bermuda; April International Group Ltd, perusahaan di British Virgin Islands; dan PT Riau Andalan Pulp and Paper yang tercatat di Indonesia.

Sementara, Asia Pacific Resources International Holdings Ltd ini merupakan pemilik PT Riau Andalan Kertas lewat struktur yang lebih rumit, yang berlapis lima, melalui jalur kepemilikan APRIL Fine Paper Holdings Ltd.  Saham Riau Andalan Kertas sendiri 97,25%-nya merupakan milik Asia Pacific Forest Products Pte Ltd, sebuah perusahaan Singapura, dan 2,75%-nya adalah milik PT Prima Konsultansi Unggulan, yang merupakan perusahaan Indonesia.  Namun, 95% saham PT Prima Konsultansi Unggulan ini juga merupakan milik Asia Pacific Forests Products Pte Ltd.

Peak Forest Ltd merupakan induk usaha untuk Asia Symbol China Holding yang berbasis di Hong Kong, yang di bawahnya tercatat ada dua perusahaan Singapura.  Namun, sebagian besar usaha yang dijalankan berada di Tiongkok, termasuk Hong Kong. Di situ, usaha keluarga Tanoto juga masuk ke real estate, manajemen properti, dan perdagangan.

Sumber Keuangan

Komposisi pinjaman dan penjaminan untuk APRIL berdasarkan negara

Kelompok usaha ini diketahui mendapatkan pinjaman sebesar USD1 miliar untuk membangun Riau Complex, yaitu pabrik kertas terintegrasi.  Di dalam sindikasi perbankan yang memberikan total pinjaman tersebut terdapat Bank Mandiri, BNI, Panin, Niaga, dan Danamon.  Namun, pinjaman tersebut tampaknya terjadi dan berakhir sebelum tahun 2010, lantaran analisis keuangan pada periode setelah 2010 tidak menunjukkan adanya lembaga jasa keuangan Indonesia yang terlibat dalam pembiayaan kelompok usaha ini.

Kelompok usaha APRIL ini antara tahun 2010-2016 tercacat mendapatkan pinjaman dan underwriting services sejumlah USD5,8 miliar atau mendekati Rp79 triliun. Dari jumlah sebesar itu, 50%-nya berasal dari Tiongkok, 32% dari Taiwan, dan 18% sisanya berasal dari Swiss, Belanda, UEA, Spanyol dan lainnya. Secara total, terdapat 53 lembaga jasa keuangan yang memberikan pinjaman, dan tidak satupun merupakan lembaga jasa keuangan Indonesia. Di lima besar perusahaan yang memberikan jasa keuangannya, terdapat Bank of China, yang memberikan jasa keuangan sebesar USD708 juta pada periode tersebut, disusul China Development Bank (USD611 juta), ICBC (USD449 juta), Cathay Financial Holding (USD331 juta), dan CITIC (USD275 juta).  Kecuali Cathay Financial Holding yang merupakan perusahaan Taiwan, sisanya adalah perusahaan Tiongkok.

Analisis

Kredit korporasi dan penjaminan berdasarkan negara dan sektor (2010-2016)

Kelompok usaha Tanoto di Indonesia merupakan contoh yang tepat untuk menunjukkan bahwa sumber keuangan yang merisikokan—bukan berarti pasti membawa masalah—keberlanjutan hutan di Indonesia sesungguhnya tidak hanya berasal dari Indonesia.  Hasil pengumpulan data dan analisis RAN, Profundo dan TuK Indonesia yang dikumpulkan dan dibuka kepada publik lewat microsite www.forestsandfinance.org menunjukkan bahwa modal dari Jepang, Malaysia, dan Tiongkok jumlahnya melampaui modal dari Indonesia sendiri—yang ada di peringkat 4.  Khusus untuk usaha pulp and paper, modal dari Tiongkok dan Jepang juga melampaui Indonesia.

Catatan lainnya adalah bahwa tanpa membedah struktur kelompok usaha dan sumber keuangan, mustahil dapat memahami kompleksitas isu.  Akses terhadap informasinya sendiri tidaklah mudah, dan kerap tidak murah.  Oleh karena itu, microsite tersebut, yang dibuat khusus untuk menunjukkan sumber-sumber keuangan yang merisikokan hutan Indonesia, diharapkan bisa membantu para pemangku kepentingan di Indonesia memahami isu secara lebih komprehensif.

Dalam Laporan Keberlanjutan tahun 2015-2016, dapat dilihat bahwa RAPP memiliki alasan untuk khawatir kehilangan lebih dari 50% area produksinya.  Hal ini dikarenakan 60% dari landbank yang dimilikinya memang ada di kawasan gambut.  Mengingat Riau Complex dibangun dengan asumsi kapasitas tertentu, yang tentu dibuat tanpa menghitung kemungkinan hilangnya landbank tersebut, maka kehilangan landbank di atas lahan gambut dipastikan akan membuat masalah kapasitas berlebih (menganggur) dari pabrik pengolahan.

Berbagai konsekuensi dari kapasitas pabrik yang menganggur ini telah dinyatakan oleh RAPP sendiri, seperti kemungkinan PHK, menyusutnya ekonomi lokal, serta kerusuhan sosial.  Tentu, RAPP juga akan kesulitan memenuhi permintaan konsumennya dengan pasokan sumberdaya kayu yang menyusut.

Namun demikian, permasalahan tersebut jelas muncul bukan saja sebagai konsekuensi dari regulasi pemerintah, terutama PP Nomor 57/2016, melainkan juga dari praktik RAPP sendiri dari tuntutan dunia yang berubah.  Bila konsumen RAPP memiliki kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE), yang sekarang sudah menjadi norma bisnis di antara perusahaan-perusahaan yang progresif, maka mereka juga akan memutuskan hubungan bisnis dengan RAPP karena asal sebagian pasokan kayu yang berada di lahan gambut tersebut.

Dari sisi keuangan, RAPP jelas akan mengalami kesulitan untuk membayar pinjaman, dan APRIL kemungkinan kehilangan aset untuk membayarnya. Pinjaman sebanyak USD1,1 miliar yang diterima oleh APRIL International Enterprise Pte Ltd di tahun 2016 terikat dengan prasyarat sebagai berikut: “The loan is secured by an assignment of certain off-take arrangements with customers, a fixed and floating charge over the assets of certain fellow subsidiaries and an enterprise pledge of two fellow subsidiaries,” sebagai mana yang bisa dibaca pada laporan tahun 2016 APRIL International Enterprise Pte Ltd.  Demikian juga dengan beberapa pinjaman lain yang akan jatuh tempo dalam waktu yang tak terlampau lama lagi.

Perselisihan yang Bisa Dipahami

Dalam kondisi seperti itu, dapat dipahami apabila RAPP tampak memberikan perlawanan kepada keputusan Pemerintah.  Namun, apakah perlawanan itu akan bisa menyelamatkan RAPP bila konsumen internasionalnya menerapkan NDPE?  Tidak.  Oleh karena itu, apa yang terjadi di RAPP mungkin akan menjadi contoh kasus stranded assets—di mana hutan yang tadinya dihitung sebagai aset tiba-tiba menurun bahkan hilang nilainya dalam waktu yang singkat.

Yang penting diingat juga adalah bahwa stranded assets ini bukan semata-mata masalah yang dihadapi RAPP, melainkan juga seluruh industri yang mungkin kehilangan aset lantaran berada di lahan gambut—termasuk namun tidak terbatas pada pulp and paper serta kelapa sawit—atau penyebab lainnya yang terkait pada perhatian atas keberlanjutan.  Stranded assets juga harus menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah, karena kehilangan potensi ekonomi jelas akan punya pengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat.

Namun, pelajaran tentang stranded assets yang terpenting juga harus diambil oleh investor dan industri jasa keuangan, yang sudah tak bisa lagi mengabaikan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam pengambilan keputusan pembiayaan.  Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada kelompok usaha APRIL ini akan merasakan dampak keputusan mereka yang di masa lalu tidak berhitung secara cermat soal trend dunia yang semakin peduli pada kelestarian kawasan gambut, yang kemudian dicerminkan dalam regulasi Pemerintah RI.

Secara hukum, mungkin pemberlakukan regulasi tersebut bisa diperdebatkan, namun keadilan dan kelestarian sosial dan lingkungan yang dicerminkan di dalam regulasi tersebut agaknya sulit dilawan.  Dan, ketika rasa keadilan itu juga ditangkap sebagai sinyal ekonomi—misalnya dalam bentuk stranded assets—oleh para pelaku ekonomi di tingkat global dan nasional, maka perlawanan atasnya benar-benar akan sia-sia.

Pertanyaan pentingnya kemudian adalah apakah bangsa Indonesia—dan terutama bisnis yang dijalankan di Indonesia—akan mengambil keputusan yang kompatibel dengan masa depan, yaitu keberlanjutan, restorasi dan regenerasi.  Ataukah bisnis di sini akan berusaha melawan terus dengan ideologi shareholder primacy, perspektif jangka pendek, serta eskternalisasi biaya sosial dan lingkungan?  Kalau memilih yang pertama, maka kita perlu mempersiapkan dengan sungguh-sungguh transformasinya, termasuk mengelola dampak ekonomi dan sosial dari transformasi tersebut.  Ini jelas tidak akan mudah, tetapi kita punya peluang untuk memberikan masa depan yang lebih baik buat anak-cucu kita.  Pilihan kedua tidak perlu didiskusikan karena itu akan membuat masa depan menjadi gulita.

* Sebagian isi tulisan ini telah disampaikan pada Konferensi Pers “Korporasi Perusak Hutan Versus Pemerintah: Siapa Bermain Politik?” di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2017.  Rahmawati Retno Winarni adalah Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada advokasi kebijakan sektor berbasis lahan, termasuk dan terutama perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri. Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA.