Sederhana namun berdampak nyata. Penelitian terbaru UC Berkeley dan University of Illinois yang dirilis akhir bulan lalu (28/11) mengungkapkan, lampu minyak tanah (atau lampu teplok di Indonesia) ternyata menghasilkan karbon hitam dalam jumlah yang signifikan yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.

Lampu teplok hingga kini masih menjadi sumber penerangan bagi lebih dari 1 miliar penduduk dunia. Namun konsentrasi karbon hitam yang dihasilkan oleh lampu teplok lepas dari pengamatan para peneliti.

Padahal, emisi karbon hitam yang dihasilkan cukup signifikan sebagai salah satu sumber karbon hitam dunia. Lampu-lampu minyak tanah ini dipakai oleh lebih dari ratusan juta rumah tangga di negara miskin dan berkembang.

Hasil penelitian laboratorium menunjukkan, 7-9 % minyak tanah yang digunakan dalam lampu teplok — yang digunakan oleh 250-300 juta keluarga yang tidak memiliki saluran listrik — berubah menjadi karbon hitam saat terbakar. Sebagai perbandingan, hanya separuh dari 1% emisi yang dihasilkan dari pembakaran kayu yang berubah menjadi karbon hitam.

Penelitian ini menemukan, ada peningkatan emisi karbon hitam dari penggunaan lampu berbahan bakar minyak tanah sebesar 20 kali lipat dibanding penelitian sebelumnya. Data-data sebelumnya diambil dari data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan sumber-sumber yang lain.

Menurut para peneliti, satu kilogram karbon hitam – hasil pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna – menghasilkan efek perubahan iklim dalam sebulan yang sama dengan 700 kilogram CO2 dalam periode lebih dari 100 tahun.

“Warna oranye dalam pancaran api berasal dari karbon hitam. Semakin cerah warnanya, semakin banyak karbon hitam yang dihasilkan,” ujar Tami Bond, ilmuwan dari University of Illinois di Urbana-Champaign. “Jika tidak terbakar sempurna, karbon hitam ini akan terlepas ke atmosfer.”

Hasil penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology. “Tidak ada cara mudah untuk mengatasi masalah gas rumah kaca. Namun mengganti lampu minyak tanah bisa menjadi salah satu solusinya. Solusi ini belum banyak diterapkan dalam aksi mengatasi perubahan iklim,” ujar Kirk Smith, Profesor di School of Public Health UC Berkeley yang juga direktur Global Health and Environment Program.

“Saat ini banyak solusi yang murah dan lebih bersih dari lampu minyak tanah, dan kendala untuk menggantinya hampir tidak ada,” tambahnya lagi. Contohnya adalah lampu LED bertenaga matahari atau kompor yang mampu menghasilkan listrik dari panas yang dihasilkan. Semua solusi ini menurut Profesor Smith telah tersedia di negara berkembang.

Para peneliti menggunakan lampu minyak tanah dari Uganda dan Peru dan melakukan uji lapangan guna mengukur emisinya. Mereka lalu mengulang tes tersebut di laboratorium menggunakan lampu minyak tanah berbagai jenis dan ukuran yang mereka beli di Amerika Serikat dan Uganda.

Para peneliti juga mencatat sumber penerangan yang lebih bersih tidak hanya bermanfaat bagi iklim namun juga bagi kesehatan. Penelitian di Nepal yang dipimpin oleh Profesor Smith dan peneliti School of Public Health, UC Berkeley menemukan, wanita yang menggunakan lampu minyak tanah di rumah, memiliki risiko hingga 9,4 kali lipat lebih besar terkena penyakit TBC dibanding mereka yang tidak menggunakan lampu minyak tanah.

Redaksi Hijauku.com