Jumlah masyarakat yang menikmati energi terbarukan mandiri (off-grid) naik enam kali lipat dari 20 juta jiwa di 2011 menjadi 133 juta pada tahun 2016. Dari jumlah tersebut, sebanyak 100 juta jiwa menggunakan lampu tenaga surya dengan kapasitas kurang dari 11 watt, 24 juta jiwa menggunakan sistem energi surya dengan kapasitas kurang dari 11 watt dan setidaknya 9 juta jiwa terkoneksi ke pembangkit energi terbarukan mini atau mini-grid.
Data tersebut terungkap dalam laporan terbaru IRENA berjudul “Off-Grid Renewable Energy Solutions” yang diluncurkan baru-baru ini. Pertumbuhan pesat pengguna energi terbarukan mandiri terjadi dalam lima tahun terakhir, dipacu oleh menurunnya harga sistem lampu tenaga surya dan menjamurnya jaringan penjualan lokal.
Munculnya skema pembiayaan yang inovatif untuk energi terbarukan, seperti pembiayaan mikro (micro-financing) dan bayar sesuai pemakaian (pay-as-you-go atau PAYG) juga mendorong pertumbuhan sistem energi surya rumahan (solar home systems), menawarkan berbagai layanan listrik yang menarik.
Jumlah komunitas yang menikmati layanan pembangkit listrik tenaga air mikro juga berlipat ganda (naik dua kali lipat) sejak 2007, menjangkau 6,4 juta pengguna di 2016 dengan pertumbuhan tertinggi ada di Asia.
Kapasitas energi terbarukan mandiri (off-grid) naik secara spektakuler – tiga kali lipat – dari hanya 2 Gigawatt (GW) pada 2008 menjadi lebih dari 6,5 GW pada 2017. Sebanyak 83% dari kapasitas tersebut dipakai untuk memasok sektor industri, komersial (seperti energi untuk infrastruktur telekomunikasi) dan fasilitas publik (misalnya lampu jalan dan pompa air).
Negara-negara di Afrika dan Asia menyumbang pertumbuhan tertinggi. Lebih dari 53 juta penduduk di Afrika dan 76 juta penduduk Asia telah menggunakan sumber energi terbarukan luar jaringan pada 2016, naik dari hanya 2 juta penduduk di Afrika pada 2011 dan dari hanya kurang dari 10 juta orang di Asia pada 2008.
Selain untuk energi listrik, energi terbarukan mandiri juga dipakai untuk memasak. Rumah tangga di sejumlah negara Asia seperti di Bangladesh, Kamboja, China, India, Nepal, Viet Nam dan Indonesia telah memanfaatkan biogas rumah dan bahan bakar nabati padat (solid biofuel) seperti pelet dan briket, serta bahan bakar nabati cair seperti biodiesel guna menggantikan bahan bakar yang tidak berkelanjutan lainnya.
Pemerintah menyatakan, jika penggunaan biodiesel dan energi terbarukan bisa betul-betul bisa diimplementasikan di Indonesia, maka Indonesia akan bisa berhemat kurang lebih 21 juta dolar AS atau Rp 300 miliar per hari yang bersumber dari biaya impor bahan bakar fosil. Berbagai alternatif energi terbarukan tersedia di sekitar kita. Peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkannya.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment