Oleh: Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok *

Indonesia adalah negeri kaya dengan beragam potensi. Sehingga menjadi sebuah kewajaran apabila potensi yang dimiliki mengundang bangsa lain untuk iri. Telah tercatat dalam periodisasi sejarah, bahwa bangsa barat menjajah Indonesia selama beberapa abad karena satu alasan. Yakni potensi alamnya berupa rempah-rempah yang begitu kaya. Dan di era kapitalisasi global seperti sekarang, penjajahan dalam bentuk lain kerap kali terjadi. Terutama dalam ranah eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia oleh pihak asing.

Apalagi para pendukung kapitalisme memiliki keyakinan. Bahwa di mana pun peluang menghasilkan keuntungan, ke situ uang akan bergerak. Tidak peduli sejauh apa, modal akan datang dengan kecepatan tinggi, dengan bermodalkan potensi keuntungan yang telah terendus. Barangkali itulah yang dapat menjelaskan mengenai kondisi hutan dan lahan kita. Tidak dipungkiri, ratusan miliar dolar telah dialokasikan kesana oleh mereka yang telah mengendus potensi keuntungan yang nan menggiurkan. Hal tersebut berdasarkan riset yang dilakukan oleh Rainforest Action Network, Profundo, dan juga TuK atau Transformasi untuk Keadilan Indonesia.

Hasil yang didapatkan pun cukup menarik. Antara rentang tahun 2010 hingga akhir 2015 didapati bawa sebanyak 38 miliar dolar Amerika diinvestasikan di 50 perusahaan terbesar yang terkait dengan kehutanan. Seperti kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, hingga kayu. Dan hal tersebut belum terhitung untuk perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki dampak yang besar. Ketika beberapa ahli mengatakan bahwa ekonomi sedang mengalami penurunan yang berdampak pada investasi yang banyak ditahan. Maka di keempat sektor itulah investasi tetap berjalan dengan semestinya. Dan awal tahun ini, telah terdeteksi masuknya investasi sebesar 14 miliar dolar Amerika lagi. Tentu hal ini terus meningkat setiap waktunya sejalan dengan potensi keuntungan yang terus terendus oleh asing.

Sebuah website yang bernama Forests and Finance yang diluncurkan di Singapura pada tahun 2016 kemarin, dapat mendeteksi siapa yang menanam modal di hutan dan lahan kita. Berdasarkan data dari website tersebut, didapati sebuah fakta bahwa Malaysia dan Cina menduduki daftar teratas yang paling banyak menggelontorkan modal ke hutan dan lahan kita. Dengan masing – masing 8 miliar dolar Amerika dan 6 miliar dolar Amerika selama kurun waktu 5 tahun. Yang membedakan antara kedua negara tersebut hanya terletak pada komoditas yang disasar. Apabila Malaysia lebih tertarik kepada kelapa sawit, maka Cina lebih mengalokasikan pada pulp dan kertas.

Bencana Deforestasi

Melihat rekam jejak penggelontoran modal asing yang demikian kencangnya, maka sebagai orang awam pun akan mampu meramal apa yang akan terjadi pada hutan dan lahan kita. Model bisnis kapitalistik yang diusung pada sektor-sektor tersebut mengundang ketimpangan diantara yang menangguk keuntungan dan siapa yang menanggung risiko. Bencana deforestasi menjadi suatu hal yang pasti. Diikuti dengan hilangnya keanekaragaman hayati yang merupakan risiko yang tidak kalah pasti. Sederhananya, hutan yang menghilang berarti hilang pula habitat bagi hewan dan tumbuhan.

Ilmuwan lingkungan hidup telah sepakat bahwa deforestasi dan degradasi hutan tropis merupakan salah satu penyebab utama hilang dan punahnya keanekaragaman hayati paling parah di dunia. Hutan tropis yang tersisa di Asia Tenggara memiliki banyak spesies ikonik. Sebut saja harimau, gajah pigmi, badak, dan orang utan yang mana IUCN Red List telah memasukkannya ke dalam spesies-spesies yang terancam punah. Lebih jauh, sebuah penelitian menyatakan bahwa kehilangan hutan tropis ikut berkontribusi dalam 14-21 % dari total gas rumah kaca dunia. Beberapa tahun terakhir, ekspansi perkebunan kepala sawit, pulp, dan kertas telah merangsak ke area gambut. Dari sana, Indonesia telah menyumbang 1 sampai 2,5 % dari total emisi gas rumah kaca dunia.

Kebakaran hutan dan lahan yang menjadi benaca lingkungan paling mengerikan di abad ke-21, terjadi lantaran pembukaan lahan gambut. Emisi yang dihasilkan setara dengan 1,7 miliar ton CO2. Dilain sisi, kita juga kehilangan 2,6 juta hektare lahan, serta nilai ekonomi yang terdampak dari kerugian tersebut setara dengan 16 miliar dolar Amerika. Analogi yang pas untuk kondisi tersebut adalah seperti halnya dihajar tsunami Aceh dua kali dalam kurun waktu 3 bulan saja. Sebagai pembanding, dulu di akhir 90-an, hutan kita terbakar dengan hebat. Dan saat itu kerugian yang diderita “hanya” 6 miliar dolar Amerika saja. Peristiwa tersebut terjadi ketika periode super el Nino. Dan yang baru kita rasakan, menimbulkan dampak yang jauh lebih merugikan karena hutan kita semakin banyak yang hilang.

Bencana deforestasi juga menyasar daya regulasi hidrologi dari hutan menurun drastis. Air menghilang bersama menghilangnya hutan. Bahkan para ilmuwan telah menemukan bukti bahwa deforestasi di Indonesia telah mengakibatkan pola curah hujan bergeser. Ditambah lagi, pencemaran tanah dan sungai pun turut terdampak sebagai akibat dari musnahnya pepohonan. Menjadi sebuah pemandangan yang menyedihkan apabila melihat sungai-sungai yang ada disekitaran perkebunan kepala sawit. Erosi tanah yang mengakibatkan sungai keruh karena membawa gerusan tanah sepanjang tahun menjadi tema utama.

Perlu menjadi sebuah pemahaman bersama apabila sektor-sektor yang membawa risiko kehutanan itu bukannya tidak berdampak positif dalam aspek ekonomi dan sosial. Namun, kerapkali hal itu didapat dengan mengorbankan lingkungan. Dan korban yang terdampak pasti akan menuntut pihak tertentu untuk membayarnya, termasuk generasi yang akan datang. Mereka tidak akan mendapatkan jasa lingkungan udara dan air bersih yang dengan leluasa dinikmati oleh generasi sekarang. Sebagaimana telah banyak dituliskan, sangat banyak korban dibayar tunai hanya berbilang waktu yang sebentar. Ketika waktu membayar tiba, dampak positif ekonomi dan sosial menjadi semu atau bahkan lenyap ditelan waktu.

Perubahan yang Mutlak Dibutuhkan

Ketidakadilan yang demikian apabila terus dibiarkan akan berdampak pada masa depan bangsa ini. Hutan dan lahan kita terus menerus menghilang, dengan segala tumpukan masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi lain yang terus menggunung. Ditambah keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas negeri ini terus menerus tergerus. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan sebuah perubahan yang tidak hanya menyasar pada habit masyarakatnya. Mengingat apa yang telah dipaparkan di atas berkaitan erat dengan kapitalisme global. Dengan tujuan memastikan batas-batas ekologis kita dihormati, kerusakan lingkungan diperbaiki, sehingga kita tidak memerintahkan anak-cucu membayarnya dengan sangat mahal.

Sebagai sebuah catatan bahwa, norma global di era sekarang telah menerima kenyataan bahwa para investor itu bertanggung jawab atas kinerja proyek di mana mereka berinvestasi. Berangkat dari hal tersebut, tentu saja baik keuntungan maupun risiko harus juga ditanggung. Dalam hal ini bukan sekadar risiko finansial dari investasi, melainkan juga risiko operasi, regulasi, dan reputasi. Maka perlu adanya perubahan menuju transparansi atas siapa saja yang membayari setiap inverstasi di hutan dan lahan kita.

Seperti kata pujangga Victor Hugo, “You can resist an invading army, but you can’t resist an idea whose time has come”. Akuntabilitas para pemodal, termasuk bank, adalah ide yang tak bisa dibendung lagi. Menyikapi hal tersebut, Jalal (2016) menawarkan beberapa poin rekomendasi mengenai kondisi tersebut. Pertama, mengembangkan peraturan tentang pengawasan sektor keuangan dan mekanisme kepatuhan yang lebih kuat dalam mendukung tujuan-tujuan kebijakan public terkait lingkungan dan sosial. Kedua, mewajibkan lembaga keuangan untuk setiap tahun melaporkan kinerjanya dengan Global Reporting Initiative (GRI) G4 Financial Services Disclosure Framework.

Ketiga, mewajibkan lembaga keuangan untuk mengadopsi dan mengungkapkan kebijakan perlindungan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang kuat, serta meningkatkan prosedur uji tuntas, dengan panduan rinci untuk sektor-sektor dengan risiko tinggi. Seperti halnya sektor komoditas terkait kehutanan. Keempat, memperkuat persyaratan terhadap lembaga keuangan untuk mengidentifikasi dan memberitahu kepada regulator tentang setiap transaksi keuangan yang dicurigai terkait dengan korupsi sektor terkait kehutanan. Dan kelima, menerapkan pemantauan yang kredibel dan transparan serta mekanisme invetigasi terhadap keluhan lembaga keuangan terkait dengan isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Tanpa perubahan, gambaran di bisnis sektor terkait kehutanan sangat suram. Uang yang banyak dicurahkan hanya akan memperparah ketimpangan yang sekarang sudah kita saksikan. Kita semua memang perlu mengubah diri, termasuk dalam soal akuntabilitas yang seharusnya disandarkan pada data yang kokoh, menghentikan perilaku saling menyalahkan belaka, dan bekerja sama memperbaiki kondisi di seluruh pemangku kepentingan keberlanjutan hutan. Dengan harapan deforestasi yang terjadi untuk kepentingan investasi dapat diperbaiki. Sementara keanekaragaman hayati dapat diselamatkan keberlangsungannya di bumi nusantara.

–##–

* Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok adalah mahasiswa Universitas Airlangga. Ia tertarik mengamati lingkungan hidup dan alumni dari program Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ), Kontingen Unair 2017. Wahyu dapat dihubungi melalui surel: wahyusyaiful@gmail.com.