Koalisi Save Pulau BangkaJAKARTA, 6 April 2017 – Perjuangan panjang warga Pulau Bangka di Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara yang menolak keberadaan tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana (MMP) akhirnya membuahkan hasil, setelah Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mencabut izin usaha pertambangan tersebut.

Surat pencabutan izin usaha pertambangan yang ditandatangani sendiri oleh Menteri Jonan pada 23 Maret 2017 itu dikirim tembusannya kepada para pihak, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai salah satu pihak pemohon pada 30 Maret 2017 sebagai bagian dari Koalisi Save Pulau Bangka, bersama banyak Organisasi dan kelompok masyarakat lainnya, seperti WALHI, YLBHI, ICW dan Greenpeace Indonesia.

Proses perjuangan penolakan tambang warga Pulau Bangka, terhitung panjang, setelah semua jalur dilalui warga, mulai dari berbagai aksi, menyusun petisi online hingga proses hukum di pengadilan.

Tercatat, pada 14 Juli 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan dan mengabulkan seluruh gugatan warga Pulau Bangka atas SK IUP Operasi Produksi PT. MMP dan memerintahkan ESDM untuk mencabut SK IUP tersebut karena tidak memenuhi seluruh persyaratan peraturan perundang-undangan. Penerbitan SK IUP tersebut mengizinkan penambangan di pulau kecil dan tanpa melalui izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Atas putusan PTUN Jakarta tersebut, Kementerian ESDM dan PT. MMP mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, dan hasilnya pada 18 Desember 2015, Pengadilan Tinggi TUN Jakarta menolak upaya banding tersebut dan menguatkan putusan PTUN Jakarta sebelumnya.

Tidak puas dengan hasil putusan ini, Kementerian ESDM dan PT. MMP bahkan mengajukan kasasi ke MA. Hingga keluar putusan MA No. 255 K/TUN/2016 yang memerintahkan Kementerian ESDM untuk mencabut SK No. 3109 K/30/2014 tentang IUP Operasi Produksi PT. MMP. Dengan adanya putusan itu, mestinya sudah tidak ada jalan bagi ESDM untuk meloloskan tambang PT. MMP di Pulau Bangka.

Namun demikian, fakta-fakta hukum di atas, ternyata tidak sejalan dengan fakta lapangan yang ditemukan di Pulau Bangka. Warga mencatat, sejumlah fasilitas penunjang pertambangan masih berdiri, alat-alat berat pihak PT MMP masih ada di lokasi keruk, dan ada kecenderungan pihak perusahaan dan pihak-pihak lain yang sebaris dengan kepentingan perusahaan tidak menghormati putusan hukum yang sudah inkracht, lalu tetap ingin melakukan eksploitasi.

Fasilitas penunjang pertambangan yang sudah berdiri diantaranya adalah konstruksi untuk pabrik, gudang bahan peledak, tangki penampungan bahan bakar, konstruksi akses jalan ke kawasan hutan adat, Camp untuk Pekerja dan jetty-pelabuhan bongkar muat yang akan digunakan oleh perusahaan.

Kerusakan yang sudah terlanjur terjadi karena perusahaan tambang yang memaksakan beroperasi di Pulau Bangka selama ini adalah pembukaan kawasan hutan adat, penimbunan mangrove, beberapa gunung dan bukit telah dibongkar dan reklamasi pengurukan bibir pantai untuk pembangunan jetty yang sudah merusak ekosistem sekitarnya.

Koalisi mengharapkan konsistensi pemerintah untuk tidak mengeluarkan izin baru untuk perusahaan tambang mana pun di Pulau Bangka. Pekerjaan rumah berikutnya, adalah memastikan adanya audit dan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan. Ini mulai dari kerusakan bukit hingga kerusakan sejumlah terumbu karang serta penimbunan mangrove yang dilakukan selama perusahaan beroperasi. Dalam hal audit dan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan tersebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus berperan nyata.

Kaka Slank ikut mengkampanyekan penyelamatan Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, dari ancaman tambang. Lewat lagu, Kaka ikut dalam aksi sampai menggagas petisi change.org/savebangkaisland yang didukung hampir 30 ribu orang di situs Change.org. Kaka ingin membuka mata pemerintah, bahwa kala menjadi tambang, pulau ini terancam menghilang dari peta Indonesia jika diserahkan kepada korporasi tambang.

Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka menganggap kemenangan warga di Pulau Bangka ini dapat menjadi yurisprudensi, inspirasi dan tonggak hukum bagi banyak warga di pulau-pulau kecil lain di Indonesia yang saat ini sedang melawan ekspansi koorporasi tambang.

Menurut data KKP terdapat lebih dari 12 ribu pulau kecil di Indonesia dan nasibnya terancam serupa Pulau Bangka. Yang paling anyar adalah Pulau Romang di Maluku Barat Daya yang juga dikapling 98 persen luasnya oleh tambang. Sementara menurut catatan koalisi, Pulau Bangka hanya berukuran 4778 hektar, 2000 hektar atau separuhnya dikapling tambang asal Tiongkok ini.

Dengan adanya SK pencabutan izin usaha pertambangan operasi produksi PT MMP oleh Menteri ESDM, pada 23 Maret 2017 lalu, kami dari Koalisi Save Pulau Bangka berpandangan dan mendesak:

Pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT MMP harus diikuti langkah pemulihan kondisi sosial ekologis yang sudah terjadi selama ini, tidak sebatas mencabut izin.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus segera memastikan dan secara bersama-sama dengan pihak PT MMP melakukan upaya pemulihan atas pengrusakan lingkungan hidup yang telah ditimbulkan.

Meminta KLHK untuk melakukan inventarisasi dan investigasi guna menemukan dan mengumpulkan data-data pengrusakan yang telah terjadi dan menemukan kemungkinan atau potensi tindak perdata dan pidana lingkungan hidup yang selama ini telah terjadi di Pulau Bangka.

Masyarakat Pulau Bangka mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk STOP memberi ruang kepada perusahaan tambang, sebaliknya mendukung upaya masyarakat untuk mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat, pertanian dan perkebunan, juga perikanan dan kelautan yang tidak berdampak buruk bagi kondisi sosial ekologis.

Koalisi mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat Pulau Bangka untuk bisa menjalankan ekonomi dan penghidupannya tanpa gangguan berupa pemberian izin-izin kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif dan monokultur, semacam tambang serta perkebunan kelapa sawit.

Koalisi menuntut pemerintah untuk mentaati amanat undang-undang (UU) No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana seluruh kawasan pulau kecil terlarang untuk aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem dan biota laut di sekitarnya.

Koalisi menyerukan pemerintah melakukan penyelamatan pulau-pulau kecil dengan cara melakukan audit seluruh izin-izin tambang di pulau kecil dan segera melakukan pencabutan izin-izin di pulau kecil dengan menggunakan peristiwa pencabutan IUP di Pulau Bangka sebagai yurisprudensi, pijakan dan sumber hukum menyelamatkan pulau-pulau kecil yang bukan saja rentan karena kebijakan pembangunan dan lebih rentan lagi saat berhadapan dengan dampak perubahan iklim.

Kontak Koalisi Save Pulau Bangka

Yaya Nurhidayati (Direktur Eksekutif Nasional, WALHI)- 0813 1610 1154

Merah Johansyah (Kordinator Nasional, JATAM)- 0813 4788 2228

Leonard Simanjuntak (Kepala, Greenpeace Indonesia)- 0811 1969 6217

Ulva Novita Takke ( Pendiri, Yayasan Suara Pulau Bangka)- 0812 4751 599

Kaka Slank ( Pekerja Seni )- 0811 9402 204

Kontak di Sulawesi Utara, Pulau Bangka

Jull Takaliuang (- 0811 4357 722