Rilis Working Group ICCAs Indonesia (WGII) – Jakarta, 28 Februari 2017 – Masyarakat adat dan masyarakat lokal telah lama melakuan praktik-praktik konservasi dengan menjaga hutan, danau, sungai, pesisir dan sumberdaya alam sekitarnya. Selain itu, masyarakat adat dan lokal telah memiliki sistem pengelolaan komunal dan praktik serta peraturan adat untuk melarang pengambilan sumberdaya alam secara berlebihan yang selama ini menjadi sumber penghidupan dan mendatangkan kesejahteraan bagi mereka secara berkelanjutan. Demikian disampaikan oleh Kasmita Widodo, Koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII) pada Seminar Nasional Konservasi Rakyat yang dilaksanakan di Jakarta, 28 Februari 2017.
Selama ini kebijakan pengelolaan kawasan konservasi masih menempatkan konservasi sebagai kewenangan dan kebijakan pusat (sentralistik), dengan tidak memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat adat dan lokal untuk berperan aktif. Masyarakat yang tinggal dan hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi memiliki peran strategis dalam menjaga kawasan konservasi, karena di sanalah ruang hidup mereka. Pengakuan terhadap praktik konservasi oleh masyarakat ditujukan untuk menjaga kualitas dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi serta menurunkan konflik yang selama ini terjadi di kawasan-kawasan konservasi.
“Inspirasi konservasi sebenarnya berasal dari rakyat. Ini terbukti dengan adanya Barong Karamaka (hutan keramat) di komunitas adat Ammatoa Kajang-Bulukumba, leuweung tutupan dan leuweung titipan di komunitas adat Kasepuhan-Lebak, Pangale kapali (hutan larangan yang tidak boleh dikunjungi) di komunitas adat Wanaposangke-Morowali. Kesemuanya merupakan kawasan konservasi rakyat terkait dengan keberadaan hutan adat dan penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhir tahun lalu,” ungkap Dahniar Adriani, Koordinator Eksekutif HuMA, salah satu pengusung pengakuan hutan adat.
Masyarakat yang hidup di kawasan perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil juga memiliki praktik pengelolaan dan perlindungan kawasan dan sumberdaya alamnya. Seperti Sasi Lompa di Haruku – Maluku, Lubuk Larangan di Kenegerian Batusonggan-Kampar, Awig-awig di Teluk Jor – Lombok Timur, perlindungan danau Empangau oleh masyarakat Desa Empangau di Kapuas Hulu.
Di sisi lain, saat ini Revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem sedang masuk pembahasan di DPR RI. WGII melihat masih ada hal-hal prinsip yang terlewat dalam RUU tersebut. Seperti pengakuan terhadap peran, kearifan dan praktik konservasi oleh masyarakat hukum adat dan lokal dan wilayahnya yang dikelola secara lestari untuk konservasi SDA. Bahkan revisi UU Konservasi ini dikhawatirkan hanya mengakomodir keterlanjuran ‘investasi’ bukan konservasi’.
“Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) merupakan jawaban dalam tata kelola konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional yang lestari dan holistik, dimana praktik tersebut menjamin juga aspek kehidupan masyarakat adat, seperti mata pencaharian, ketahanan pangan dan air, konservasi keanekaragaman hayati, sumberdaya genetik, dan jasa ekosistem sebagai dasar pembangunan,” ungkap Cristina Eghenter, Deputy Director for Social Development WWF Indonesia.
“AKKM merupakan realisasi hak-hak ekonomi, lingkungan dan sosial budaya, yang tidak hanya melestarikan habitat, keanekaragaman hayati, sumberdaya genetik dan jasa lingkungan, tetapi juga merupakan sumber penghidupan jutaan masyarakat,” tutup Cristina.
Working Group ICCAs di Indonesia (WGII) didirikan seusai Simposium ICCAs di Bogor, Oktober 2011, untuk mempromosikan dan mengadvokasikan kawasan yang dilindungi oleh masyarakat (ICCAs) di Indonesia. Beberapa lembaga yang menjadi anggota WGII yaitu: JKPP, NTFP – EP, WWF Indonesia, KIARA, HuMa, PUSAKA, AMAN, Sawit Watch, WALHI, BRWA.
Kontak media:
Kasmita Widodo, Telp. 081513024601
Dahniar Andriani, Telp. 081341333080
Leave A Comment