Produksi sampah di perkotaan terus naik dan akan mencapai 2,2 miliar ton per tahun pada 2025.

Hal ini terungkap dalam berita Program Lingkungan PBB (UNEP) yang dirilis Rabu (6/11). Mengutip data Bank Dunia, berita UNEP meyebutkan, saat ini, volume sampah dunia telah mencapai 1,3 miliar ton per tahun.

Volume ini diperkirakan mencapai 2,2 miliar ton pada 2025, menimbulkan ancaman kesehatan serta pencemaran lingkungan. Dunia dituntut untuk segera beraksi untuk mengatasi krisis sampah ini.

Ancaman dari buruknya pengelolaan sampah ini terutama terjadi di negara berpendapatan rendah dimana pengumpulan sampah kurang dari 50%. Tumpukan sampah biasanya terlihat di sepanjang aliran sungai. Di Jakarta, tumpukan sampah di pintu air Manggarai sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Pembakaran sampah di lingkungan terbuka (open burning) juga sering dijumpai, menghasilkan asap tebal hasil reaksi sampah yang sebagian masuk dalam kategori sampah beracun. Bau busuk merebak ke mana-mana. Tikus yang berkeliaran dan lalat yang beterbangan menjadi pemandangan sehari-hari.

Masalah ini dibahas dalam pertemuan Global Partnership on Waste Management (GPWM), yang berlangsung di Osaka, Jepang minggu ini (5-6 November). Konferensi ini mengumpulkan berbagai ahli untuk memecahkan masalah pengelolaan sampah, agar membawa manfaat bagi ekonomi dan lingkungan.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin cepat, urbanisasi dan pembangunan ekonomi, menghasilkan semakin banyak sampah, sehingga tantangan untuk mengelolanya semakin besar.

Tren ini menurut UNEP akan berlanjut hingga 2030, saat kelas menengah dunia tumbuh dari 2 miliar ke 4,9 miliar. Konsumen kelas menengah memerlukan produk yang makin canggih dan banyak mengonsumsi sumber daya. Jika sistem pengelolaan sampah publik tidak mampu mengimpangi pertumbuhan penduduk dan ekonomi perkotaan, sampah akan memicu masalah kesehatan dan lingkungan.

Menurut UNEP, penanganan sampah adalah salah satu layanan publik yang paling rumit dan memerlukan biaya besar bahkan saat sistem ini telah berjalan dengan baik. Kegagalan mengelola sampah akan mengancam kebutuhan manusia yang lain seperti air bersih, udara bersih dan pangan yang sehat dan aman karena sampah adalah sumber berbagai penyakit.

Kegagalan tata kelola sampah juga merugikan penduduk miskin karena sampah seringkali dibuang di lokasi kumuh yang menjadi tempat tinggal mereka. Di negara berkembang, masyarakat miskin juga menghadapi pilihan pahit antara kelaparan atau bekerja sebagai pemungut sampah.

Di Jakarta misalnya, banyak kita jumpai keluarga (suami beserta istri dan anak-anak mereka) yang hidup dalam gerobak. Mereka memeroleh penghasilan dari mengumpulkan sampah di jalanan dan di lingkungan yang kotor dan berpolusi.

Jutaan pemungut sampah di negara berkembang harus mengabaikan risiko kesehatan untuk menghidupi keluarga mereka. Mereka berisiko terpapar pencemaran timbel, merkuri, sampah-sampah yang menimbulkan infeksi yang datang dari fasilitas kesehatan dan sampah elektronik.

Laporan UNEP menyatakan, jika dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi sumber energi dan bisnis yang menjanjikan. Yang bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, mencegah dampak perubahan iklim dan membuka lapangan kerja.

Laporan UNEP pada 2010 menunjukkan, proses daur ulang satu ton kertas atau alumunium di Eropa Utara bisa mengurangi emisi setara CO2 antara 600 kg hingga 10.000 kg. Bahkan laporan UNEP lain pada 2009 menyebutkan, kandungan emas dalam satu ton ponsel bekas, 65 kali lebih banyak dari kandungan emas dalam satu ton bijih besi (ore) yang hanya mengandung 5 gram emas.

Dan nilai industri pengelolaan sampah dunia telah mencapai US$ 410 miliar menunjukkan potensi bisnis yang besar dari proses daur ulang dan pengelolaan sampah.

Dunia saat ini berupaya terus bekerja sama untuk mengelola sampah agar bisa mengurangi dampak negatif sampah bagi lingkungan dan kesehatan. Keterangan lebih lanjut dari program Global Partnership on Waste Management, bisa dilihat pada tautan berikut ini.

Redaksi Hijauku.com