Perluasan perkebunan sawit tidak hanya mengancam kelestarian hutan namun juga kelestarian ratusan spesies langka di Indonesia. Perluasan kebun sawit juga berdampak sosial, memicu konflik antar warga dan perusahaan perkebunan sawit.

Upaya menciptakan saling pengertian antara aksi pelestarian hutan dan kepentingan industri sawit menjadi satu keharusan agar Indonesia bisa menjaga keanekaragaman hayati dan memeroleh manfaat ekonomi.

Topik inilah yang menjadi sorotan dalam Diskusi Akhir Tahun 2012 dengan topik “Antara Politik Pelestarian Hutan dan Bisnis Kelapa Sawit” yang berlangsung di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (20/12).

Acara hasil kerja sama Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Kemitraan ini adalah refleksi atas apa yang telah terjadi selama 2012 di bidang kehutanan dan perkebunan sawit.

Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Gideon Saragih, Sekjen GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Joko Supriyono, Kelompok Kerja Hukum dan Penegakan Hukum Satgas REDD+ Mas Achmad Santosa, Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Basoeki Karyaatmadja. Sedangkan sebagai moderator adalah Wimar Witoelar dari Yayasan Perspektif Baru.

Data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian, mencatat, sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Konflik perusahaan sawit dan masyarakat terjadi di 23 provinsi dengan sekitar 591 kasus.

Bagai sebuah gunung es, masih banyak kasus konflik lahan di Tanah Air yang tak terekam media dan tidak dilaporkan ke pemerintah dan lembaga penegak hukum.

Konflik ini sebagian besar akibat perluasan perkebunan sawit yang makin merajalela tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal.

Wilayah perkebunan kelapa sawit terus tumbuh dengan pesat, mencapai rata-rata 400.000 ha per tahun. Pada 1995 luas wilayah perkebunan sawit hanya 2 juta hektar. Pada pertengahan 2012, luas wilayah perkebunan sawit telah melonjak menjadi 8,2 juta hektar.

Jefri Gideon Saragih mengatakan bahwa dampak sosial yang muncul dan paling signifikan akibat perluasan kebun sawit adalah konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal, petani dan buruh perkebunan sawit. “Tak jarang konflik ini berujung pada kekerasan yang berakibat pada kriminalisasi bahkan kematian,” ujarnya.

Perluasan perkebunan kelapa sawit juga merugikan tiga kelompok masyarakat. Yaitu masyarakat adat, petani plasma dan buruh.

Masyarakat kerap menjadi korban karena tergusur dari tempat tinggalnya. Para petani plasma diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Para buruh juga sering memeroleh perlakukan yang tidak layak dari perusahaan perkebunan.

”Konflik lahan dan plasma semakin sering terjadi akibat ekspansi usaha sawit yang tidak diiringi dengan kebijakan pengaman sosial yang memadai,” ujar Mas Achmad Santosa.

Menurut Mas Achmad, aspek pengaman sosial yang masih belum dipenuhi meliputi konsistensi penentuan luas lahan konsesi, plasma dan kemitraan; perizinan yang terintegrasi; kejelasan kewajiban menyelesaikan hak atas tanah sebelum kegiatan perkebunan dimulai; dan kejelasan sanksi hukum serta tanggung jawab pemerintah pusat.

Joko Supriyono dari GAPKI menyatakan, industri kelapa sawit terbukti telah membawa kesejahteraan bagi jutaan petani sawit di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. “Oleh karena itu, pengembangan sawit harus dilanjutkan dengan memperhatikan kaidah-kaidah sustainability,” ujarnya.

Salah satu kaidah tersebut ialah pentingnya mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam bentuk kepemilikan kebun melalui program plasma.

Kepastian hukum dalam investasi di sektor sawit menurut Joko juga harus ditingkatkan sehingga menjamin kesinambungan pembangunan kebun plasma bagi masyarakat tempatan.

Menurut Basoeki Karyaatmadja, Kementerian Kehutanan mendukung pembangunan sektor perkebunan dengan mengalokasikan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Saat ini, luas wilayah hutan produksi yang bisa dikonversi, menurut Basoeki, mencapai 20,9 juta hektar atau 11,14% dari wilayah hutan Indonesia. “Semoga luas (hutan produksi yang bisa dikonversi) ini tidak bertambah,” tuturnya.

Diskusi ini menyimpulkan, kebijakan pemerintah melakukan moratorium hutan selama dua tahun merupakan sikap yang tepat untuk mengurangi laju pertumbuhan kelapa sawit.

Kebijakan moratorium hutan ini perlu terus dipertahankan agar tidak terjadi alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit.

Selain melestarikan ekosistem hutan, upaya moratorium juga bisa mengurangi konflik antar warga dan perusahaan perkebunan sawit. Saat ini, perkebunan sawit di Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Diskusi ini juga merekomendasikan, peningkatan produksi bisa dilakukan dengan cara intensifikasi tanaman, tanpa harus memerluas lokasi perkebunan sawit.

Redaksi Hijauku.com