Doha, Qatar 8 Desember 2012 –Konferensi perubahan iklim PBB ke-18 dari Para Pihak (Conference of Parties / COP UNFCCC), belum menghasilkan kesepakatan yang menggembirakan bagi para pihak peserta negara perundingan dan molor dari jadwal penutupan yang direncanakan berakhir pada Jumat (7/12) .
Presiden COP18 dari Qatar Abdullah bin Hamad Al-Attiyah menunda sesi perundingan High Level Segment (HLS) lanjutan yang merupakan negosiasi tingkat ministrial para pihak untuk mengambil keputusan konferensi sampai Sabtu (8/12) pukul 08.30 waktu Qatar.
Sesi perundingan HLS yang dimulai pada Jumat sekitar pukul 23.00, mendengarkan hasil dari sesi LCA (Long-term Cooperative Action under the Convention) ministrial outreach yang dipimpin oleh Menteri Lingkungan Singapura Vivian Balakrishnan dan Menteri Lingkungan Peter Altmaier dari Jerman. Dan sampai Sabtu dinihari, sesi pertemuan informal COP/CMP High Level Segment tersebut ditutup tanpa menghasilkan kesepakatan politis.
Sebelumnya pada Jumat pukul 22.00, para pihak melakukan negosiasi langsung dengan dua menteri yang ditunjuk Presiden COP18 yaitu Menteri Vivian Balakrishnan dan Menteri Peter Altmaier untuk menjembatani berbagai perbedaan pandangan yang terselesaikan dalam dalam perundingan di level substansial sebelum masuk ke level perundingan diantara pengambil keputusan di tingkat menteri pada sesi LCA ministrial outreach.
LCA ministrial outreach tersebut dilakukan setelah pada Jumat (7/12) sore, pimpinan sidang pada jalur negosiasi AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) mengeluarkan teks untuk mendapatkan respon dari para pihak mengenai berbagai elemen yang tercakup di dalam lingkup AWG-LCA seperti shared vision, komitmen negara maju untuk penurunan emisi , aksi mitigasi negara berkembang, REDD+, pendekatan sektoral untuk penurunan emisi GRK, dan instrument pelaksanaan (means of implementation), dimana isu pendanaan masuk di dalamnya.
Isu pendanaan dalam teks dari AWG-LCA tersebut, menyebutkan negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya “qualitative reassurance”, yaitu meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang (long-term finance) yang dibuat di Kopenhagen, Denmark pada COP 15 tahun 2009. Pada saat itu, negara maju berkomitmen untuk memobilisasi dana sejumlah 100 miliar dolar Amerika Serikat (per tahun) sampai tahun 2020 dengan catatan negara berkembang melakukan aksi mitigasi dan melaporkannya secara transparan.
Sementara negara-negara berkembang meminta agar penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015) –atau diistilahkan mid-term financing—dengan nilai dana 60 miliar dolar Amerika Serikat. Angka konkrit tersebut sangat diperlukan agar negara berkembang memiliki kepastian mengenai pendanaan yang tersedia untuk membantu mereka melaksanakan kegiatan-kegiatan adaptasi untuk mengatasi berbagai dampak buruk perubahan iklim. Negara berkembang juga memerlukan bantuan pendanaan untuk melaksanakan berbagai aksi pengurangan emisi mereka meski tidak diwajibkan oleh Konvensi UNFCCC.
Tanpa adanya keputusan mengenai angka tersebut, negara berkembang mengkhawatirkan akan terjadi kesenjangan pendanaan setelah periode pendanaan jangka pendek (fast-start finance) untuk periode 2010-2012 senilai $30 miliar dolar Amerika Serikat berakhir tahun ini.
Sebelumnya dalam pidato di sesi High Level Segment (HLS) COP 18/CMP 8 UNFCCC pada Kamis (6/12), Rachmat Witoelar selaku ketua Delegasi Republik Indonesia mengingatkan bahwa Konvensi UNFCCC dan Kyoto Protokol telah membuat banyak kemajuan negosiasi, baik di Cancun maupun Durban, yang termasuk di dalamnya adalah pembentukan Bali Action Plan.
“Banyak hal yang masih belum terselesaikan untuk mencapai kesetaraan dan ambisi global dalam upaya mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim, utamanya penyediaan dana, teknologi dan peningkatan kapasitas untuk jangka menengah dan panjang, setelah paska 2012” ujar Rachmat Witoelar.
Indonesia berpendapat bahwa prinsip tanggung jawab bersama dengan kewajiban yang berbeda (common but differentiated responsibilities) dan kemampuan masing-masing negara (respective capabilities) harus dikedepankan.
“Negara maju harus menunjukan kepemimpinannya di dalam menurunkan target emisi. Secara bersamaan Negara berkembang (meskipun tidak ada keharusan) telah melakukan beberapa upaya mitigasi di dalam negerinya” tegas Witoelar.
Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim tersebut mengingatkan kepada para perunding bahwa meninggalkan Doha dengan tangan hampa bukanlah pilihan. “Doha harus menghasilkan ambisi, substantif dan hasil yang seimbang bagi umat manusia,” katanya.
Ada 3 elemen yang Indonesia anggap penting agar dapat di capai di Doha, yaitu diadopsinya keputusan komitmen penurunan emisi periode kedua dari Protokol Kyoto dan berakhirnya AWG-LCA agar diikuti dengan keberlanjutan implementasi kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai selama ini melalui subsidiaries bodies atau proses lainnya yang telah disepakati, dan agar perundingan pada jalur Adhoc Working Group on Durban platform (ADP) dapat melanjutkan proses negosiasi untuk tercapainya kesepakatan yang komprehensif, ambisius, dan berkekuatan hukum selambatnya pada tahun 2015.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Amanda Katili Niode, Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim. Email: amanda.katili@dnpi.go.id, Tel: (021) 3511400. HP: 082112934285
Leave A Comment